Kamis, 24 Maret 2016

Sabar Sebagai Alat Menuju Kesempurnaan

Minggu Palma, 20 Maret 2016, kami (aku, istri dan anak2ku) sudah duduk di dalam gereja (psst, lebih tepatnya di balai paroki sih ... sebab nggak dapat tempat ... maklum terlambat datangnya) setelah mengikuti prosesi perarakan palma dari halaman sekolah SD St Yusuf Tropodo, akan mendengarkan lantunan ayat suci dalam liturgi Sabda.

Sambil menunggu lektor mempersiapkan diri, aku membaca sekilas bacaan pertama yang diambil dari kitab Yesaya 50:4-7. Bacaan ini adalah cerita tentang seseorang menggunakan gaya bahasa orang pertama, dan tafsir atas ayat2 ini biasanya adalah si orang pertama yang sedang bercerita itu adalah Yesus. Jadi Yesaya 50 adalah semacam ramalan (eeh kata yang biasa dipakai adalah nubuatan) atas peristiwa yang akan dialami sang Mesias, yaitu Yesus itu sendiri.

Tiba-tiba saat membaca itu, aku seakan menempatkan diriku sebagai tokoh utama itu (Yesus), lalu menyadari bahwa aku (Yesus nih) sedang bercerita tentang peristiwa sengsaraku sendiri, yang akan dialami saat Jumat Agung nanti. Wah, berarti selama ini, kalo Minggu Palma, aku nggak pernah terlalu perhatian atas isi ayat2 ini ... :-) ... (jangan2 waktu hari minggu harian pun juga gitu ya ... hihihi)

Pengalaman itu semakin kuat ketika Mazmur dibacakan. Mazmur 22 dengan refrain terkenalnya : "Allahku, ya Allahku, Mengapa Kautinggalkan Aku". Nada lagu khasnya sangat familiar karena selalu menggunakan nada yang sama seperti tertulis dalam PS 819. Tetapi isi mazmurnyalah yang membuat aku seakan ditarik balik ke 2000 tahun lalu, dan aku seperti berada di atas salib, dan melihat ke bawah, melihat peristiwa2 yang diceritakan Mazmur 22 terjadi satu demi satu di bawah kaki salib, lalu saat kekuatan hampir habis, maka mulut menjawab dengan refrain : Allahku, ya Allahku, Mengapa Kautinggalkan Aku.

Aku jadi berpikir, apakah Yesus saat itu sama seperti aku sekarang? Jadi ketika Ia mengucapkan kalimat "eli eli lamasabakthani", di atas kayu salib, apakah Yesus sedang membaca Mazmur 22 ini karena Mazmur itu sedang menceritakan apa yang Dia alami dan pada akhir mazmur, Dia mengucapkan refrain dengan suara yang keras sekaligus utk mengurangi rasa sakit di kaki dan tangan. Mungkin aja, siapa tahu ... kalo pengin tahu, ya nanti kalo sudah di Sorga, mari bertanya kepada Yesus sendiri. Hahaha ... karena mungkin kalimat2 terakhir ini lebih banyak pake ilmu otak-atik-gathuk alias ilmu cocoklogi, jadi mari kembali ke "laptop".

Mengapa aku menceritakan pengalaman tadi? Karena diminta bikin artikel terkait Paskah dan tema App (Tekun Ulet Sabar Untuk Hidup Yang Berkelimpahan) oleh tim redaksi Mawass :).

Oke, serius sekarang ... Mengapa aku menceritakan pengalaman tadi?

Karena aku tiba2 menyadari betapa Allah, Bapa kita semua, sungguh amat sabar menghadapi kita, anak2nya (yang nakal2 ini, tetapi sebenarnya baik hati dan tidak sombong :-).

Seberapa sabarkah Allah Tuhan kita?

Mari kita lihat, kitab Yesaya bab 50 dituliskan untuk orang2 Yahudi yang dibuang di Babilonia yang terjadi sekitar tahun 590SM (https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Yesaya), sedangkan Mazmur 22 bahkan ditulis lebih lama lagi dari masa pembuangan ke Babilonia karena dituliskan di masa Raja-Raja setelah pecahnya kerajaan Israel yang berlangsung dari tahun 930SM hingga 590SM saat pembuangan terjadi. Padahal kejadian yang ditulis di ayat2 tersebut, bercerita tentang sesuatu di masa depan yang akan terjadi 500 bahkan 1000 tahun kemudian.

Jika dalam 100 tahun, muncul 3 generasi (kakek - ayah - anak), maka dalam 500 tahun, ada 15 generasi orang turun temurun. Aku saja hanya mengenal nama kakek buyut dari cerita mama yang masih mengenal beliau, namun ayah dari kakek buyut, bahkan mama ku pun hanya tahu namanya saja, apalagi aku. Bayangkan kalo kita diminta mengenal hingga 15 generasi diatas kita, diminta mengenal peristiwa2 yang dinubuatkan 15 generasi yang lalu. Lha wong nama saja nggak tahu, apalagi sekedar peristiwa yang diceritakan saat itu yang akan terjadi sekarang.

Allah sungguh amat sabar, Dia menunggu hampir 500 tahun untuk mewujudkan nubuatan itu. Peristiwa demi peristiwa yang dituliskan itu dilakukan persis sama oleh Yesus 500 tahun kemudian setelah ayat2 itu ditulis.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita bisa sesabar itu. Ada orang bilang, ayah itu sabarnya sehangat kopi yang dihidangkan. Jadi kalo dalam 5 menit udah dingin, wah ayah bisa marah2. Katanya gitu.

Tetapi coba lihat Allah ... Dia bisa menunggu 500 tahun untuk mewujudkan nubuatan itu. Dia bisa sabar menunggu waktu yang tepat.

Kalo kita berkilah dengan argumen "Ya, enak Allah Bapa, Dia tidak terbatas waktu ... kita ini lho terbatas waktu!"

Memang benar, bahwa kita ini terbatas waktu (hanya 70 tahun menurut Mazmur), tetapi mari melihatnya dari skala yang lebih kecil. Bila Allah mampu bersabar 500 tahun, masa kita nggak sanggup bersabar 500 menit, atau 500 hari, atau 500 bulan (berapa tahun itu = sekitar 41 tahun). Tidak sanggupkah kita bersabar?

Sabar adalah masalah mindset, pola pikir, paradigma (apa lagi ya kata yang tepat). Sabar adalah bagaimana kita bereaksi menghadapi situasi yang tidak enak dan tidak nyaman yang terjadi di sekitar kita. Kita dikatakan tidak sabar, kalo kita bereaksi terlalu cepat terhadap situasi yang terjadi atas diri kita. Kita harus menahan diri, 500 detik misalnya (sekitar 8 menit), sebelum bereaksi.

Berdoa adalah salah satu alat untuk belajar bersabar. Bahkan mengikuti Misa Kudus pun adalah alat yang sangat penuh kuasa dalam belajar mengatasi kesabaran kita (kalimat ini sering aku pakai utk mengajar anak2ku dan juga anak2 komuni pertama). Bayangkan, saat mengikuti Misa Kudus, tiba2 baru ketahuan bahwa ada Baptis, dan jumlah yang dibaptis lebih dari 3 bayi, padahal setelah Misa akan mengikuti acara lain yang waktunya mepet dengan selesainya Misa ... pada saat seperti itulah kesabaran kita akan diuji. Atau ada acara yang sangat kita sukai akan terjadi setelah Misa, dan Romo selebran (maaf para romo sekalian) menggunakan nada suara yang mendayu-dayu, dan terasa berlambat-lambat menjalankan upacara Misa Kudus ... ouch ... sungguh kesabaran kita benar2 diuji dalam batas maksimal.

Oleh karena itu, mengapa Misa Kudus diharuskan diikuti, bahkan dianjurkan untuk diikuti setiap hari. Selain berkat Sakramen Ekaristi yang membawa kehidupan kekal, tetapi juga karena dalam peristiwa Misa Kudus, kita dapat belajar bersabar menghadapi situasi yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi selama 1-1.5 jam.

Bila kita sanggup menahan diri selama 1 jam dan melatih2nya berulang2 selama berminggu2 ... maka kita pasti sanggup bertahan selama 1 bulan, bahkan 1 tahun, bahkan lebih lagi 10 tahun. Apalah artinya waktu.

Sabar akan menghasilkan pengampunan bagi orang lain yang menyebabkan kita tidak sabar
Pengampunan menghasilkan kasih
Dalam kasih ada Tuhan
Mau kan menerima Tuhan ... maka mulailah dari bersabar dalam hal2 sederhana

Salam damai sejahtera bagi kita semua

Kamis Putih, 24 Maret 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar